Tuesday, 5 December 2017

Masa Demokrasi Liberal di Indonesia

A. Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal
Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Parlementer atau yang juga sering disebut  sebagai Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Di dalam sistem Demokrasi Liberal ini pemerintahan NKRI berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan yang tidak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Dua partai terkuat pada masa Demokrasi Liberal adalah PNI dan Masyumi. Kedua partai ini silih berganti memimpin kabinet. Dengan sering bergantinya kabinet menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang berkuasa pada masa Demokrasi Liberal adalah:
  1. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
  1. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
  1. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
  1. Kabinet Ali Sastroamidjojo (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
  1. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
  1. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
  1. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
C. Keadaan Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal
Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi kondisi ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut:
  1. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi, yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
  1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun Rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 rriliun Rupiah.
  1. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 miliar rupiah.
  1. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
  1. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
  1. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
  1. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
  1. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
  1. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
  1. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.     
Dari masalah-masalah tersebut masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah antara lain adalah mengurangi jumlah uang yang beradar di masyarakat dan mengatasi kenaikan biaya hidup. Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.

D. Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Masalah Ekonomi
            Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadang cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut:
1.   Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering) dengan cara memotong semua uang yang bernilai Rp2,50 ke atas hingga nilainya hanya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp5,1 miliar dan dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp200 juta.

2.   Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Menteri Perdagangan Sumitro Joyohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan masyarakat Indonesia dengan cara:
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
  • Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
  • Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju. 
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir. Program Gerakan Benteng dimulai pada bulan April tahun 1950. Hasilnya selama tiga tahun (1950 – 1953) lebih kurang 700 perusahaan Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Namun, tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena:
  • Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
  • Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
  • Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
  • Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
  • Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
  • Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.     
Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan negara. Beban defisit anggaran belanja pada tahun 1952 sebanyak 3 miliar Rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar Rupiah. Akhirnya Menteri Keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.

3.   Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuan dari nasionalisasi ini adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.

4.   Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Iskaq Tjokrohadisurjo, Kabinet Ali I. Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha nonpribumi khususnya Cina. Tujuan dari program ini adalah:
  • Untuk memajukan pengusaha pribumi.
  • Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
  • Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
  • Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan nonpribumi.  
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba:
  • Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga masyarakat Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
  • Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
  • Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.      
Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
  • Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
  • Indonesia menerapkan sistem liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
  • Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.  
5.   Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Geneva untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek yang berisi:
  • Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
  • Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
  • Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Sementara itu dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.

6.   Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Hal ini menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan pada umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956 – 1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan sekitar 12,5 miliar Rupiah. Namun, dalam pelaksanaannya RPLT tidak dapat berjalan dengan baik karena:
  • Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
  • Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7.   Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa Kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakannya Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang, tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
  • Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
  • Terjadi ketegangan politik yang tidak dapat diredakan.
  • Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
  • Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
  • Memuncaknya ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.

No comments:

Post a Comment