A. Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal
Pada tahun 1950, setelah unitary
dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Parlementer
atau yang juga sering disebut sebagai Demokrasi Liberal dan
diberlakukan UUDS 1950. Di dalam sistem Demokrasi Liberal ini
pemerintahan NKRI berbentuk parlementer sehingga perdana menteri
langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari
kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri
dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi),
Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4
kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau
perorangan yang tidak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.
Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu
pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa
struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum
dilaksanakan.
Dua
partai terkuat pada masa Demokrasi Liberal adalah PNI dan Masyumi.
Kedua partai ini silih berganti memimpin kabinet. Dengan sering
bergantinya kabinet menimbulkan ketidakstabilan
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet
yang berkuasa pada masa Demokrasi Liberal adalah:
- Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
- Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
- Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
- Kabinet Ali Sastroamidjojo (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
- Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
- Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
- Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
C. Keadaan Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal
Meskipun
Indonesia telah merdeka tetapi kondisi ekonomi Indonesia masih sangat
buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut:
- Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi, yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
- Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun Rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 rriliun Rupiah.
- Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 miliar rupiah.
- Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
- Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
- Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
- Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
- Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
- Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
- Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Dari
masalah-masalah tersebut masalah jangka pendek yang harus dihadapi
pemerintah antara lain adalah mengurangi jumlah uang yang beradar di
masyarakat dan mengatasi kenaikan biaya hidup. Sementara masalah jangka
panjang yang harus dihadapi adalah pertambahan penduduk dan tingkat
kesejahteraan penduduk yang rendah.
D. Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Masalah Ekonomi
Kehidupan
ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan
tantangan yang menghadang cukup berat. Upaya pemerintah untuk
memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering)
dengan cara memotong semua uang yang bernilai Rp2,50 ke atas hingga
nilainya hanya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri
Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan
ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1
PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp5,1 miliar dan dampaknya rakyat
kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan
dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp200 juta.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem
ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia
untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah pada masa Kabinet
Natsir yang direncanakan oleh Menteri Perdagangan Sumitro
Joyohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi
kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi
Indonesia). Programnya adalah menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan
masyarakat Indonesia dengan cara:
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
- Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan
Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir. Program Gerakan
Benteng dimulai pada bulan April tahun 1950. Hasilnya selama tiga tahun
(1950 – 1953) lebih kurang 700 perusahaan Indonesia menerima bantuan
kredit dari program ini. Namun, tujuan program ini tidak dapat tercapai
dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan
program ini disebabkan karena:
- Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
- Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
- Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
- Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
- Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
- Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya
program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan negara. Beban
defisit anggaran belanja pada tahun 1952 sebanyak 3 miliar Rupiah
ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar
Rupiah. Akhirnya Menteri Keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan
kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan
ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai
produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan mengenai pemberian
kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat
pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuan dari nasionalisasi ini
adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank
menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi
diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24
tahun 1951.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Iskaq Tjokrohadisurjo, Kabinet Ali I. Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha nonpribumi khususnya Cina. Tujuan dari program ini adalah:
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan nonpribumi.
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba:
- Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga masyarakat Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
- Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
- Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.
Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
- Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha nonpribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
- Indonesia menerapkan sistem liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
- Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada
masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Geneva untuk
merundingkan masalah finansial ekonomi antara pihak Indonesia dengan
pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada
tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek yang berisi:
- Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya
pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia
mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet
Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara
sepihak. Tujuannya adalah untuk
melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga pada
tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani undang-undang
pembatalan KMB. Sementara itu dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu
mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa
kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang
silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Hal ini
menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan pada umumnya
merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali
Sastroamidjojo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro
ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Djuanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara
tahun 1956 – 1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun
1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan sekitar 12,5 miliar
Rupiah. Namun, dalam pelaksanaannya RPLT tidak dapat berjalan dengan
baik karena:
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa
Kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah.
Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakannya
Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan
rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang, tetapi tetap
saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
- Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
- Terjadi ketegangan politik yang tidak dapat diredakan.
- Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
- Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
- Memuncaknya ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
No comments:
Post a Comment